Minggu, 09 September 2012

Rahasia Air dan Api


 “Kenapa kau membenci hujan?” pertanyaanmu memecah keheningan. Aku masih menatap keluar. Dibalik kaca yang terpasang ditoko ini aku bisa melihat hujan sedang menyapu jalan. Aku menggigit bibir bawahku. Kau sudah sering sekali mengulang pertanyaan ini.

“Karena aku membenci air.” Aku menjawab sekenanya. Kau menatapku lekat. Kau genggam tanganku, aku menatapmu. Bukan karena genggaman itu. Tapi aku bosan dengan pertanyaanmu. Aku yakin, setelah ini kau hanya terdiam. Tak ada respon lebih lanjut. Kau memang menyebalkan. Lebih suka menikmati hujan ketimbang berbicara denganku.

Benar saja. Kau tidak bergeming, hanya mempererat genggaman tanganmu. Aku merasa hangat disekujur tubuhku. Tidak kah kau tahu kalau aku suka saat seperti ini? Aku bisa melihat kau tersenyum setiap kali melihat percikan air hujan yang turun dari langit. Sebahagia itukah kau melihat hujan turun Naara? Kutelusuri wajahmu dengan tatapanku. Wajah yang teduh yang selalu berhasil menenangkanku. Garis rahang yang mempertegas ketampananmu. Dan senyum itu. Senyum yang selalu aku rindu.

Aku suka melihatmu menatap hujan. Aku suka semburat senyum yang terukir saat kau melihat hujan. Tapi itu semua tidak cukup membuat aku mencintai hujan. Mencintaimu tidak bisa dijadikan alasan untuk mencintai hujan. Entahlah.
“Kenapa kau membenci hujan? Bukankah kau suka pelangi?” Suaramu yang lembut kembali memecah keheningan. Kau masih menggenggam tanganku. Perasaan hangat itu masih menjalar disekujur tubuhku.
“Membenci hujan dan menyukai pelangi adalah hal yang berbeda. Aku membenci hujan, karena hujan yang turun terlalu banyak membuatu tidak bisa bergerak. Aku membenci hujan, karena hujan yang turun terlalu lama membuat pelangiku tak kunjung tiba. Aku membenci hujan, karena hujan membuat jarakku dengan air semakin dekat. Dan kau tahu naara, aku membenci air walaupun ada banyak hal yang bisa membuatku menyukainya. Dan aku membenci air, karena air menghalangi api menunjukkan kemegahannya.” Aku menatapmu yang masih menerawang mendengar pernyataanku. Aku bisa mendengar helaan nafasmu yang panjang. Kau menatapku. Tepat dimanik mataku. Nafasku tercekat ditatap dengan cara seperti itu. Tubuhku terbujur aku. Naara kau membuatku mati rasa.

Kau mempererat genggamanmu. Menatapku lekat. Tidak seperti Naara yang biasanya, kali ini Naara yang aku kenal seperti menanggung sebuah beban berat.
“kau tahu Agniya,  Air dan api tidak selamanya dicipkatan untuk saling terpisah. Ada kalanya air meredam api untuk melindungi api dari sesuatu yang ia ciptakan sendiri” katamu perlahan. Aku tidak bisa menangkap maksud perkataanmu. Mungkin otakku yang terlalu lamban untuk bereaksi. 

“Air dan api berbeda. Tapi perbedaan itu yang membuat mereka sempurna. Mungkin mereka tidak akan bersatu tetapi mereka bisa hidup berdampingan. Saling melengkapi untuk mengisi kekurangan. Agniya, mungkin kau tidak setuju dengan pernyataanku. Bukankah memang selalu seperti itu. Tak pernah ada sesuatu yang kita setujui tanpa melalui perdebatan?” Aku mengangguk perlahan. Sedikit banyak aku sudah bisa mencerna kata-katamu.

“Agniya, bisakah kau tidak lagi membenci hujan? Atau mungkin tidak lagi membenci air?” Baru saja aku akan menjawab pertanyaanmu, tapi kau sudah megisyaratkan untuk diam.
“Kalau kau tanya mengapa, karena air mencintai api jawabannya. Tidakkah kau tahu itu? Karena air ingin selalu melindungi api yang selalu ingir berkobar. Karena air ingin melindungi api dari kecerobohan yang sering ia lakukan.Karea air ingin membuat api tidak melalukan hal bodoh yang bisa merugikan dirinya dan orang lain.” Lanjutmu. Dan pernyataan itu berhenti sampai disitu. Aku mengerjap beberapa kali, menunggu kalimat selanjutnya. Tapi tidak ada yang keluar. Kau masih menatapku penuh harap. Aku mengerjap lagi. Aku yakin seribu persen kalau api yang kau maksud dikalimat itu adalah aku dan air adalah dirimu.

Glek. Aku menelan ludahku. Tidak percaya dengan apa yang kudengar. Api dalam bahasa Sansekerta adalah Agni. Dan itu namaku.Sedangkan nama lain dari Air dalam bahasa Sansekerta adalah Naara, dan itu dirimu. Aku mengerjap lagi. Seolah ini hanya sebuah mimpi. Aku tidak terlalu yakin dengan perkataanmu. Apa pernyataan itu berarti kau ingin aku menjadi kekasihmu? Benarkah?
“Agniya, kenapa kau diam saja. Kau baik-baik saja?” Kau mengguncang-guncangkan tubuhku. Sedangkan aku masih terdiam seperti orang bodoh.
“Maksud dari kata-katamu tadi, kau ingin aku jadi kekasihmu?” Aku melontarkan kata-kata yang mungkin akan aku sesali seumur hidupku. Oh tuhan, kalau kau tidak menganggukkan kepalamu. Aku berjanji tidak akan pernah menemuimu lagi.
“Dasar bodoh. Apa aku harus memperjelas kata-kataku. Kenapa kau sangat tidak romantis Agni! Baiklah, akan aku perjelas. Apakah kau mau menjadi kekasihku?” Kau menatapku. Dari sorot matamu aku tahu kau tidak sabar mendengar jawabanku.
Aku mengangguk. Benar-benar terlihat bodoh kurasa. Sedetik kemudian, kau sudah memelukku. Berteriak sampai seluruh toko memperhatikan kita. Aku rasa, air sudah tercemar oleh kobaran api.

 #30hariLagukuBererita
Inspired by: Hujan-Utopia
 

1 comments:

Anonim mengatakan...

Keren!

Posting Komentar