“Kenapa kau membenci
hujan?” pertanyaanmu memecah keheningan. Aku masih menatap keluar. Dibalik kaca
yang terpasang ditoko ini aku bisa melihat hujan sedang menyapu jalan. Aku
menggigit bibir bawahku. Kau sudah sering sekali mengulang pertanyaan ini.
“Karena aku membenci air.” Aku menjawab sekenanya. Kau
menatapku lekat. Kau genggam tanganku, aku menatapmu. Bukan karena genggaman
itu. Tapi aku bosan dengan pertanyaanmu. Aku yakin, setelah ini kau hanya
terdiam. Tak ada respon lebih lanjut. Kau memang menyebalkan. Lebih suka
menikmati hujan ketimbang berbicara denganku.
Benar saja. Kau tidak bergeming, hanya mempererat genggaman
tanganmu. Aku merasa hangat disekujur tubuhku. Tidak kah kau tahu kalau aku
suka saat seperti ini? Aku bisa melihat kau tersenyum setiap kali melihat
percikan air hujan yang turun dari langit. Sebahagia itukah kau melihat hujan
turun Naara? Kutelusuri wajahmu dengan tatapanku. Wajah yang teduh yang selalu
berhasil menenangkanku. Garis rahang yang mempertegas ketampananmu. Dan senyum
itu. Senyum yang selalu aku rindu.
Aku suka melihatmu menatap hujan. Aku suka semburat senyum
yang terukir saat kau melihat hujan. Tapi itu semua tidak cukup membuat aku
mencintai hujan. Mencintaimu tidak bisa dijadikan alasan untuk mencintai hujan.
Entahlah.
“Kenapa kau membenci hujan? Bukankah kau suka pelangi?”
Suaramu yang lembut kembali memecah keheningan. Kau masih menggenggam tanganku.
Perasaan hangat itu masih menjalar disekujur tubuhku.
“Membenci hujan dan menyukai pelangi adalah hal yang
berbeda. Aku membenci hujan, karena hujan yang turun terlalu banyak membuatu
tidak bisa bergerak. Aku membenci hujan, karena hujan yang turun terlalu lama
membuat pelangiku tak kunjung tiba. Aku membenci hujan, karena hujan membuat
jarakku dengan air semakin dekat. Dan kau tahu naara, aku membenci air walaupun
ada banyak hal yang bisa membuatku menyukainya. Dan aku membenci air, karena
air menghalangi api menunjukkan kemegahannya.” Aku menatapmu yang masih
menerawang mendengar pernyataanku. Aku bisa mendengar helaan nafasmu yang
panjang. Kau menatapku. Tepat dimanik mataku. Nafasku tercekat ditatap dengan
cara seperti itu. Tubuhku terbujur aku. Naara kau membuatku mati rasa.
Kau mempererat genggamanmu. Menatapku lekat. Tidak seperti
Naara yang biasanya, kali ini Naara yang aku kenal seperti menanggung sebuah
beban berat.
“kau tahu Agniya, Air
dan api tidak selamanya dicipkatan untuk saling terpisah. Ada kalanya air
meredam api untuk melindungi api dari sesuatu yang ia ciptakan sendiri” katamu
perlahan. Aku tidak bisa menangkap maksud perkataanmu. Mungkin otakku yang
terlalu lamban untuk bereaksi.
“Air dan api berbeda. Tapi perbedaan itu yang membuat mereka
sempurna. Mungkin mereka tidak akan bersatu tetapi mereka bisa hidup
berdampingan. Saling melengkapi untuk mengisi kekurangan. Agniya, mungkin kau
tidak setuju dengan pernyataanku. Bukankah memang selalu seperti itu. Tak
pernah ada sesuatu yang kita setujui tanpa melalui perdebatan?” Aku mengangguk
perlahan. Sedikit banyak aku sudah bisa mencerna kata-katamu.
“Agniya, bisakah kau tidak lagi membenci hujan? Atau mungkin
tidak lagi membenci air?” Baru saja aku akan menjawab pertanyaanmu, tapi kau
sudah megisyaratkan untuk diam.
“Kalau kau tanya mengapa, karena air mencintai api jawabannya. Tidakkah
kau tahu itu? Karena air ingin selalu melindungi api yang selalu ingir
berkobar. Karena air ingin melindungi api dari kecerobohan yang sering ia
lakukan.Karea air ingin membuat api tidak melalukan hal bodoh yang bisa merugikan dirinya dan orang lain.” Lanjutmu. Dan pernyataan itu berhenti sampai disitu. Aku mengerjap
beberapa kali, menunggu kalimat selanjutnya. Tapi tidak ada yang keluar. Kau
masih menatapku penuh harap. Aku mengerjap lagi. Aku yakin seribu persen kalau
api yang kau maksud dikalimat itu adalah aku dan air adalah dirimu.
Glek. Aku menelan ludahku. Tidak percaya dengan apa yang
kudengar. Api dalam bahasa Sansekerta adalah Agni. Dan itu namaku.Sedangkan nama lain dari Air dalam bahasa Sansekerta adalah Naara, dan itu dirimu. Aku
mengerjap lagi. Seolah ini hanya sebuah mimpi. Aku tidak terlalu yakin dengan
perkataanmu. Apa pernyataan itu berarti kau ingin aku menjadi kekasihmu?
Benarkah?
“Agniya, kenapa kau diam saja. Kau baik-baik saja?” Kau
mengguncang-guncangkan tubuhku. Sedangkan aku masih terdiam seperti orang
bodoh.
“Maksud dari kata-katamu tadi, kau ingin aku jadi
kekasihmu?” Aku melontarkan kata-kata yang mungkin akan aku sesali seumur
hidupku. Oh tuhan, kalau kau tidak menganggukkan kepalamu. Aku berjanji tidak
akan pernah menemuimu lagi.
“Dasar bodoh. Apa aku harus memperjelas kata-kataku. Kenapa
kau sangat tidak romantis Agni! Baiklah, akan aku perjelas. Apakah kau mau
menjadi kekasihku?” Kau menatapku. Dari sorot matamu aku tahu kau tidak sabar
mendengar jawabanku.
Aku mengangguk. Benar-benar terlihat bodoh kurasa. Sedetik
kemudian, kau sudah memelukku. Berteriak sampai seluruh toko memperhatikan
kita. Aku rasa, air sudah tercemar oleh kobaran api.
#30hariLagukuBererita
Inspired by: Hujan-Utopia
1 comments:
Keren!
Posting Komentar